Monday, March 31, 2014

Kencan pertama

tiba2 aq teringat kejadian 5 tahun lalu ketika seorang gadis sunda mengirimkan q sebuah potongan kertas surat kabar kompas saat duduk di bangku kelas 2 SMA, hari cerah dan bunga2 pohon mundu mulai rontok melapisi halaman kelas kami seperti karpet kuning terang, aq membalasnya dengan sebuah gambar abstract dengan tinta merah marun serupa metamorphose kupu2, bentuknya mirip tato dan ia menyebutnya vygnet.

aq senang menyebutnya 'bunga' bukan karena ia gadis paling cantik di kelas ipa, & aq belum pernah jujur sebelumnya bahwa aq benar2 cemburu saat teman q menjenguknya dirumah sakit, lalu mengajak bunga nonton film bertajuk "sous kacang" beberapa waktu berselang setelahnya, pemeran film tersebut actris cantik Bunga cinta lastari ibu sebabnya aq senang menyebutnya bunga, bunga dalam hati si anak SMA.

siang itu bunga mundu di tanah hampir sirna sempurna, buah mana pun pasti jatuh juga. menguncup memekar meranum masak dan jatuh. tapi kisah ku tak sesingkat buah mundu,
sempat dekat dengannya merupakan sebuah motivasi tersendiri, tanpa sadar aq terserang semangat perjuangan 45, beberapa novel tebal tanpa sadar aq telan dalam waktu singkat, kamar q jd sangat artistik karna tiba2 aq jd hoby melukis, satu lg yang masih tertanam karena bunga membuatku berhasrat belajar bahasa inggris.

aq masih menyimpan potongan kertas darinya, semusim setelah buah-buah mundu terahir masak, bunga pergi setahun meninggalkanku ke tanah pennsylvania sebagai peserta youth exchange programm, bunga mengabariku vygnet itu bersamanya.

salam q untuk mu
via_mutiara hitam mataram
Banda Aceh'14





"Bukit-bukit tinggi berlapis rumput hijau, danau-danau teduh, dan pucuk-pucuk lancip menara gereja yang menyembul di antara rumah-rumah di tepi danau berkelebatan di luar jendela bus.
Pemandangan damai khas Swiss itu tak mampu meredam hati yang makin berdebar. Debaran khas hati yang sedang menjalani kencan pertama. Ya, inilah kencan pertamaku dengan salju.
Jungfraujoch nama tempat kencan itu. Sebuah tempat turis dan stasiun riset ilmiah di punggung pegunungan Alpen pada ketinggian 3.454 meter di atas permukaan laut.
”Jika ada kemungkinan kamu hanya ke sini sekali dalam hidup, kamu harus pergi ke atas. Melihat gunung-gunung besar yang diselimuti salju abadi,” terngiang kata-kata Maya Hauser, seorang teman yang aku kenal di Zurich, sehari sebelumnya.
Maka di sinilah aku, duduk di dalam bus menembus autobahn, melewati kota Zug dan Lucern. Uang sebanyak 199 franc Swiss (sekitar Rp 1,7 juta) untuk membayar paket perjalanan ini kuharap tak terlalu mahal dan sepadan dengan yang akan kudapat.
Dua jam telah berlalu sejak bus berangkat dari Zurich, Kamis (21/8) pukul 08.30. Kini bus memasuki Interlaken, kota terbesar di kawasan wisata Jungfrau, untuk beristirahat sejenak.
Kota di kaki pegunungan Alpen itu menjadi penghubung semua kota besar di Swiss sebelum mendaki ke Jungfraujoch. Jalur kereta api ataupun jalan bebas hambatan alias autobahn tersedia dari Geneva, Lausanne, Bern, Basel, Zurich, St Gallen, dan Lugano.
Kereta khusus
Dari alun-alun di tengah Interlaken, barisan gunung tinggi berwarna putih sudah terlihat. ”Ke sanalah nanti kita akan pergi,” ujar Kid, pemandu perjalanan asal Thailand yang sudah 13 tahun hidup di Zurich. Hati pun bergetar melihat puncak gunung yang seperti terlalu tinggi untuk digapai itu.
Bus bergerak lagi menuju Stasiun Lauterbrunnen. Di sini semua jenis mobil harus berhenti dan perjalanan selanjutnya hanya bisa ditempuh dengan kereta listrik khusus beroda gigi (cogwheel).
Roda gigi ini dibutuhkan untuk menempuh jalur mendaki, seperti yang terlihat pada jalur rel KA antara Ambarawa-Jambu di Jawa Tengah. Dari Lauterbrunnen pada ketinggian 798 meter, kereta merayap pelan menuju Stasiun Kleine Scheidegg di ketinggian 2.064 meter.
Di tempat itu puncak-puncak Gunung Eiger (3.970 meter), Monch (4.107 meter), dan Jungfrau (4.158 meter) tampak di depan mata. Dinding utara Eiger berdiri hampir tegak lurus dari dasar sampai pucuknya yang bersaput salju. Sebanyak 60 pendaki telah tewas sejak tahun 1935 saat mencoba mendaki dinding berwarna hitam itu.
Dari Kleine-Scheidegg, kami berganti kereta menempuh etape terakhir menuju Jungfraujoch. Perjalanan tahap ini sebagian besar ditempuh di dalam terowongan yang menembus batu gunung sepanjang 7,3 kilometer dan mendaki setinggi hampir 2.000 meter. Hati terasa ciut sekaligus takjub mengingat terowongan dan jalur KA listrik ini telah dibangun 111 tahun silam. Sebuah mahakarya konstruksi sipil pada zamannya.
Puncak Eropa
Kereta berhenti dua kali di sepanjang terowongan untuk memberi kesempatan penumpang menyesuaikan diri dengan perubahan ketinggian. Di Stasiun Eigerwand (2.865 meter) dan Eismeer (3.160 meter, lebih tinggi dari puncak Gunung Merbabu di Jawa Tengah), udara sudah terasa tipis dan dingin. Terdapat jendela-jendela besar di setiap stasiun untuk melihat pemandangan dan bisa difungsikan sebagai jendela penyelamat saat terjadi kecelakaan pendakian.
Sekitar pukul 14.30, kereta sampai di tujuan akhirnya, yakni Stasiun Jungfraujoch. Pada ketinggian 3.454 meter, stasiun ini masih memegang rekor sebagai stasiun KA tertinggi di Eropa sehingga sering dijuluki ”Top of Europe”.
Dari peron stasiun, aku menaiki lift setinggi 108 meter, menuju teras Observatorium Sphinx, kubah teropong bintang yang dibangun di puncak gunung yang runcing dan sempit pada ketinggian 3.571 meter.
Termometer dinding menunjukkan suhu udara 1,7 derajat Celsius di teras yang memiliki pemandangan hampir 360 derajat itu. Di timur laut terlihat puncak Gunung Monch menjulang, sementara di arah berlawanan tampak puncak Jungfrau menjadi titik tertinggi di kawasan itu.
Sementara di sebelah selatan terlihat Gletser Aletsch, gletser terpanjang di Eropa. Membentang sepanjang 23 kilometer dengan lebar aliran hampir 2 kilometer, gletser itu berkelok-kelok seperti aliran sungai raksasa menuju kedalaman Lembah Rhone.
Tak sabar rasanya segera menyentuh permukaan putih itu, menuntaskan kencan yang tertunda. Di tengah laju pemanasan global yang makin mengkhawatirkan saat ini salju abadi itu mungkin tak akan lama lagi berada di sana.
Turun dari Sphinx, aku keluar ke dataran serba putih yang menjadi pangkal Gletser Aletsch.
Aku berjongkok, menyentuhkan kedua telapak tangan di lapisan kristal-kristal beku. Aku raupkan tangan, membentuk bola salju yang kugenggam erat. Kencan pertama ini terasa begitu hangat...."

sumber: http://otomotif.kompas.com/read/2008/09/07/08055984/direktori.html